Rabu, 20 Juni 2012

Buah Tangan Lombok Mas bro

Berkunjung ke tempat wisata di Pulau Lombok belum terasa lengkap bila tidak membawa buah tangan khas Lombok. Oleh-oleh khas Pulau Lombok adalah perhiasan dari mutiara. Bentuk mutiara Lombok dijual dalam bermacam-macam bentuk. Mulai dari perhiasan kalung, gelang, anting-anting hingga mutiara asli yang belum diolah. Souvenis khas lombok ini bisa dengan mudah kita temukan karena toko kerajinan mutiara tersebar di sepanjang pantai-pantai tempat wisata di pulau Lombok. Harga yang ditawarkan pun relatif murah dibanding harga di kota besar.

Selain mutiara, oleh-oleh khas tempat wisata di Pulau Lombok adalah kerajinan rakyat yang berupa gerabah. Salah satu pusat kerajinan gerabah di Pulau Lombok adalah desa Banyu Mulek. Industri rumah tangga pembuatan gerabah di desa ini sudah ada sejak abad ke-16 dan merupakan keterampilan rakyat yang diajarkan turun menurun dari nenek moyang penduduk asli Pulau Lombok. Banyu Mulek adalah salah satu ikon tempat wisata di Pulau Lombok karena masih mempertahankan tradisi pembuatan gerabah.

Souvenir khas tempat wisata di Pulau Lombok yang lain adalah kerajinan tangan kain tenun tradisional. Kain tenun Lombok dikenal memiliki motif yang unik dan berwarna-warni. Untuk mendapatkan kain tenun tradisional Lombok, Anda bisa mengunjungi desa Sukarara. Desa Sukarara merupakan salah satu desa yang ditinggali oleh suku Sasak dan memberi ciri khusus bagi tempat wisata di Pulau Lombok penghasil seni tenun ini.

Tempat wisata di Pulau Lombok merupakan deretan obyek wisata yang sangat sayang bila Anda lewatkan. Mulai dari Gunung Rinjani, Pantai Senggigi, Gili Meno, Gili Trawangan dan tempat wisata di Pulau Lombok lainnya merupakan pulau surga yang tertinggal di kawasan Nusa Tenggara. Keindahannya mampu menarik jutaan wisatawan dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Apakah Anda sudah mengunjunginya? Jika belum, mari kita jelajahi keindahan dan pesona tempat wisata di Pulau Lombok.

Jumat, 04 Mei 2012

Berita motor Injeksi terbaru

Berita terkini mengenai produk terbaru yang telah dikeluarkan oleh yamaha, produk tersebut diberi nama dengan nama mio j, dengan teknologi teranyar dari produsen motor besar tersebut. Silahkan melihat prevewnya langsung disini :


Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition
Materi Gambar MIO J Teen Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Add Image Yamaha Writing Competition

Minggu, 18 Desember 2011

Sabar Menghadapi Cobaan

Pernahkah kita merasa bahwa Tuhan sedang menguji kita?

Kita cenderung mengatakan kalau kita ditimpa kesusahan maka kita sedang mendapat cobaan dan ujian dari Tuhan. Jarang sekali kalau kita dapat rahmat melimpah dan kebahagiaan kita teringat bahwa itu pun merupakan ujian dan cobaan dari Tuhan. Ada di antara kita yang tak sanggup menghadapi ujian itu dan boleh jadi ada pula di antara kita yang tegar menghadapinya.

Bukankah Tuhan tidak pernah memberikan beban yang melampui kemampuan manusia? Jadi jika kita menghadapi suatu masalah hadapilah masalah tersebut dengan penuh kepasrahan kepada-NYA. Hanya karena Dia-lah segala sesuatu ada dan tidak ada.

Setiap derap kehidupan kita merupakan cobaan dari Tuhan. Kita tak mampu menghindar dari ujian dan cobaan tersebut, yang bisa kita pinta adalah agar cobaan tersebut sanggup
kita jalani. Cobaan yang datang ke dalam hidup kita bisa berupa rasa takut, rasa lapar, kurang harta dan lainnya.

Bukankah karena alasan takut lapar saudara kita bersedia mulai dari membunuh hanya karena persoalan uang seratus rupiah sampai dengan berani memalsu kuitansi atau menerima komisi tak sah jutaan rupiah?

Bukankah karena rasa takut akan kehilangan jabatan membuat sebagian saudara kita pergi ke “orang pintar” agar bertahan pada posisinya atau supaya malah meningkat ke “kursi” yang lebih empuk?

Bukankah karena takut kehabisan harta kita jadi enggan berbagi rejeki kepada sesama?

Bersabarlah. Karena orang sabar akan selalu mendapat rahmat dan karunia Tuhan.

Memang tidak mudah menjadi orang sabar, biasanya kita akan cepat-cepat berdalih, “Yah.. Sabar kan ada batasnya.” Atau lidah kita berseru, “Sabar sih sabar.. Saya sih kuat tidak makan enak, tapi anak dan isteri saya?” Memang, manusia selalu dipenuhi dengan pembenaran-pembenaran yang ia ciptakan sendiri.

Karena kita semua adalah adalah milik Tuhan dan kepadaNya-lah kita akan kembali.

Setiap musibah, cobaan dan ujian itu tidaklah berarti apa-apa, kita berasal dari-Nya, dan baik suka maupun duka, diuji atau tidak, kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ujian apapun itu datangnya dari Tuhan, dan hasil ujian itu akan kembali kepada Tuhan.

Apakah kita rela bila mobil yang kita beli dengan susah payah hasil keringat sendiri tiba-tiba hilang?

Apakah kita rela bila proyek yang sudah di depan mata, tiba-tiba tidak jadi diberikan kepada kita, dan diberikan kepada saingan kita?

Apakah kita menjadi iri dan dengki kita bila melihat tetangga kita sudah membeli TV baru, mobil baru atau malah rumah baru?

Bisakah kita mengucap pelan-pelan dengan penuh kesadaran, bahwa semuanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan?

Kita ini tercipta dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Bila kita mampu mengingat dan mengerti arti kalimat tersebut, di tengah ujian dan cobaan yang menerpa kehidupan kita, maka Tuhan akan memberikan “hadiah” yang setimpal di hari penghakiman nanti.

Sudah siapkah kita menerima “hadiah” yang akan di berikan oleh Tuhan di hari penghakiman nanti?

Sabar Adalah Gerbang Segala Kebaikan

Sesungguhnya iman itu terdiri atas dua bagian: sebagian sabar dan sebagian syukur. Keduanya merupakan dua sifat dari sifat-sifat Allah Ta’ala dan dua nama dari al-asmaa-ul-husnaa, dimana Dia menamakan Diri-Nya dengan nama ash-Shabuur dan asy-Syakuur. Maka kebodohan terhadap hakikat sabar dan syukur, sebenarnya adalah kebodohan daripada sifat-sifat Dia Ta’ala.

Keutamaan Sabar

Allah Ta’ala sesungguhnya telah menyifatkan orang-orang yang sabar, dengan beberapa sifat. Ia menambahkan lebih banyak derajat dan kebajikan kepada sabar. Ia menjadikan derajat dan kebajikan itu sebagai hasil (buah) dari sabar. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu beberapa pemimpin yang akan memberikan pimpinan dengan perintah Kami, yaitu ketika mereka berhati teguh (sabar)”. (QS. As-Sajadah : 24).

“Dan telah sempurnalah perkataan yang baik dari Tuhan engkau untuk Bani Israil, disebabkan keteguhan hati (kesabaran) mereka”. (QS Al A’raf : 137).

“Kepada orang-orang itu diberikan pembalasan (pokok) dua kali lipat, disebabkan kesabaran mereka”. (QS. Al Qashash : 54)

“Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu, akan disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung”. (QS Az-Zumar : 10).


Maka tidak ada dari pendekatan diri manusia kepada Allah (ibadah), melainkan pahalanya itu ditentukan dengan kadar dan dapat dihitung, selain sabar. Dan sesungguhnya adanya puasa itu sebagian dari sabar dan puasa itu separuh sabar, maka Allah Ta’ala mengaitkan puasa itu bagi orang-orang yang bersabar, bahwa Ia bersama mereka.

“Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfal : 46).

“Ya! Kalau kamu sabar dan memelihara diri, sedang mereka datang kepadamu (menyerang) dengan cepatnya, Tuhan akan membantu kamu dengan lima ribu malaikat yang akan membinasakan”. (QS. Ali ‘Imran : 125).

Dan penelitian semua ayat-ayat tentang kedudukan sabar itu akan panjang bila diteruskan.

Adapun hadits-hadits yang menyangkut dengan sabar, maka di antara lain, Nabi s.a.w. bersabda : “Sabar itu separuh iman”, sebagaimana nanti akan diterangkan caranya sabar itu separuh iman. Adapun hadits-hadits yang lain di antaranya:

“Dari yang sekurang-kurangnya diberikan kepada kamu, ialah: keyakinan dan kesungguhan sabar. Siapa yang diberikan keberuntungan dari keyakinan dan kesungguhan sabar itu, niscaya ia tidak peduli dengan yang luput dari padanya, dari shalat malam dan puasa siang.

Dan engkau bersabar di atas apa yang menimpa atas diri engkau, adalah lebih aku sukai, daripada disempurnakan oleh setiap orang daripada kamu, kepadaku, dengan seperti amalan semua kamu. Akan tetapi aku takut, bahwa dibukakan kepadamu dunia sesudahku. Lalu sebagian kamu menetang sebagian yang lain. Dan akan ditantang kamu oleh penduduk langit (para malaikat) ketika itu. Maka siapa yang sabar dan memperhitungkan diri, niscaya memperoleh kesempurnaan pahalanya”.

Kemudian Nabi s.a.w. membaca firman Allah Ta’ala: “Apa yang di sisi kamu itu akan hilang dan apa yang di sisi Allah itu yang kekal. Dan akan Kami berikan kepada orang-oang yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya” (An-Nahl:96).

Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi s.a.w ditanyakan tentang iman, maka Beliau menjawab: “Sabar dan suka memaafkan”.

Dikatakan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud a.s.:

“Berakhlaklah dengan akhlak-Ku! Sesungguhnya sebagian dari akhlak-Ku, ialah, bahwa Aku Maha Sabar.”

Pada hadits yang diriwayatkan ‘Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah s.a.w. masuk ke tempat orang-orang Anshar, lalu beliau bertanya:

“Apakah kamu ini semua orang beriman?”.

Semua mereka diam. Maka menjawab Umar r.a.: “Ya, wahai Rasulullah!”.

Nabi s.a.w. lalu bertanya: “Apakah tandanya keimanan kamu itu?”

Mereka menjawab: “Kami bersyukur atas kelapangan. Kami bersabar atas percobaan. Dan kami rela dengan ketetapan Tuhan (qadha Allah Ta’ala)”.

Lalu Nabi s.a.w. menjawab: “Demi Tuhan pemilik Ka’bah! Benar kamu itu orang beriman!”.

Nabi s.a.w. bersabda:

“Pada kesabaran atas yang tidak engkau sukai itu banyak kebajikan”.

Isa Al-Masih a.s. berkata:

“Engkau sesungguhnya tiada akan memperoleh apa yang engkau sukai, selain dengan kesabaranmu atas apa yang tiada engkau sukai”.

Adapun atsar, maka di antaranya ialah terdapat pada surat khalifah Umar bin al-Khatab r.a. kepada Abu Musa Al-Asy’ari r.a., yang bunyinya di antara lain:

“Haruslah engkau bersabar! Dan ketahuilah, bahwa sabar itu dua. Yang satu lebih utama dari yang lain: sabar pada waktu musibah itu baik. Dan yang lebih baik daripadanya lagi, ialah sabar (menahan diri) dari yang diharamkan Allah Ta’ala. Dan ketahuilah, bahwa sabar itu yang memiliki iman. Yang demikian itu, adalah bahwa takwa itu kebajikan yang utama. Dan takwa itu dengan sabar”.

Ali r.a. berkata pula:

“Sabar itu dari iman, adalah seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada tubuh bagi orang yang tidak mempunyai kepala. Dan tidak ada iman, bagi orang yang tiada mempunyai kesabaran”.

Adalah Habib bin Abi Habib Al Bashari, apabila membaca ayat: “Sesungguhnya dia (Ayub) kami dapati, seorang yang sabar. Seorang hamba yang amat baik. Sesungguhnya dia tetap kembali (kepada Tuhan)” (QS. Shad : 44), lalu beliau menangis dan berkata: “Alangkah menakjubkan! Ia yang memberi dan Ia yang memujinya.”

Penjelasan Hakikat Sabar

Ketahuilah kiranya, bahwa sabar itu suatu maqam (tingkat) dari tingkat-tingkat agama. Dan suatu kedudukan dari kedudukan orang yang berjalan menuju kepada Allah (saalikiin). Dan semua maqam agama itu hanya dapat tersusun baik dari tiga hal: ma’rifah, ahwal dan amal. Maka ma’rifah itu adalah pokok, dialah yang mewariskan ahwal; dan ahwal itu yang membuahkan amal.

Ma’rifah itu adalah seperti pohon kayu, ahwal adalah seperti ranting, dan amal seperti buah. Dan ini terdapat pada semua kedudukan para saalikiin. Seperti demikian pula sabar. Tiada akan sempurna sabar itu selain dengan ma’rifah yang mendahuluinya dan dengan ahwal yang tegak berdiri.

Adapun insan itu, maka sesungguhnya ia diciptakan pada permulaan masa kecilnya tanpa keinginan selain keinginan makan. Kemudian lahirlah keinginan bermain dan berhias, kemudian nafsu keinginan kawin. Dan tak ada sekali-kali pada insan —pada masa kecil tersebut— kekuatan sabar. Pada anak kecil itu yang ada hanyalah tentara hawa nafsu, seperti yang ada pada hewan.

Akan tetapi, Allah Ta’ala dengan kurnia-Nya dan keluasan kepemurahan-Nya, memuliakan anak Adam dan meninggikan derajat mereka dari derajat hewan-hewan. Maka Allah Ta’ala mewakilkan kepada manusia itu ketika sempurna dirinya dengan mendekati kedewasaan, dua malaikat. Yang satu memberinya petunjuk dan yang satu lagi menguatkannya. Maka berbedalah manusia itu dengan pertolongan dua malaikat tadi dari hewan-hewan.

Maka jadilah insan itu dengan sinar petunjuk, mengetahui bahwa mengikuti nafsu syahwat itu tidak disukai pada akibatnya. Akan tetapi, petunjuk itu tidaklah memadai, selama tidak ada baginya kemampuan untuk meninggalkan yang mendatangkan melarat. Lalu ia memerlukan kepada kemampuan dan kekuatan yang dapat menolakkannya kepada menyembelih nafsu syahwatnya itu. Lalu ia melawan nafsu syahwat tersebut dengan kekuatan itu. Sehingga diputuskannya permusuhan nafsu syahwat tadi darinya. Maka Allah Ta’ala mewakilkan seorang malaikat lain padanya yang membetulkannya, meneguhkannya dan menguatkannya dengan tentara yang tiada engkau dapat melihatnya. IA memerintahkan tentara ini, untuk memerangi tentara nafsu syahwat. Maka sekali tentara ini yang lemah dan sekali ia yang kuat.

Hendaklah dipahami, bahwa peperangan itu, terjadi antara penggerak agama dan penggerak hawa nafsu. Dan peperangan antara yang dua tadi, berlaku terus menerus. Dan medan peperangan ini ialah qalb hamba.

Sumber bantuan kepada penggerak agama itu datangnya dari para malaikat, yang menolong barisan (tentara) Allah Ta’ala. Dan sumber bantuan penggerak nafsu syahwat itu, datangnya dari syaitan-syaitan yang membantu musuh-musuh Allah Ta’ala.

Maka sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama menghadapi penggerak nafsu syahwat. Kalau penggerak agama itu tetap, sehingga dapat memaksakan penggerak nafsu syahwat dan terus-menerus menantangnya, maka penggerak agama itu telah menolong tentara Allah. Dan berhubung dengan orang-orang yang sabar. Dan kalau ia tinggalkan dan lemah, sehingga ia dikalahkan oleh nafsu syahwat dan ia tidak sabar pada menolaknya, niscaya ia berhubungan dengan mengikuti syaitan-syaitan.

Jadi, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat itu adalah amal perbuatan yang dihasilkan oleh suatu ahwal, yang dinamakan sabar, yaitu tetapnya penggerak agama yang berhadapan dengan penggerak nafsu syahwat. Tetapnya penggerak agama itu adalah suatu hal yang dihasilkan oleh iman, dengan memusuhi nafsu syahwat dan melawannya, karena sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Sesungguhnya semua yang tersebut itu, adalah isyarat yang mengisyaratkan kepada hal-hal yang lebih tinggi dari ilmu mu’amalah. Maka kami terangkan, bahwa telah jelas sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama pada melawan penggerak hawa nafsu. Dan perlawanan ini adalah termasuk ciri khas anak-anak Adam, karena diwakilkan kepada mereka, malaikat-malaikat yang mulia yang menuliskan amal perbuatan mereka.

Sabar itu Setengah Iman

Ketahuilah kiranya, bahwa iman itu pada suatu kali, disandarkan secara mutlak kepada tasdiq dengan pokok-pokok agama, dan pada suatu kali lainnya dengan amal shalih yang datang dari tasdiq itu, dan pada suatu kali lainnya lagi keduanya sekaligus: iman dan amal shalih.

Adapun “sabar itu setengah iman” berdasarkan dua pandangan dan atas kehendak dua pemakaian kata. Pandangan pertama, iman itu dikatakan secara mutlak kepada semua tasdiq dan amalan. Lalu iman itu mempunyai dua sendi (rukun). Yang satu yakin dan yang lain sabar.

Yang dimaksudkan dengan yakin ialah ma’rifah-ma’rifah yang diyakini kepada pokok-pokok agama. Dan yang dimaksudkan dengan sabar ialah amal (berbuat) menurut yang dikehendaki oleh keyakinan. Keyakinan tersebut, misalnya, mengajarkan bahwa maksiat itu mendatangkan melarat dan tha’at itu mendatangkan manfaat. Dan tidak mungkin meninggalkan perbuatan maksiat dan rajin kepada taat, selain dengan sabar. Maka adalah sabar itu separuh iman dengan pandangan ini. Dan karena itulah, rasulullah s.a.w. mengumpulkan di antara keduanya, dengan sabdanya:

“Di antara yang paling sedikit yang diberikan kepada kamu ialah yakin dan keras kesabaran”.

Pandangan kedua, iman itu dikatakan secara mutlak kepada ahwal yang membuahkan amal, dan bukan ma’rifah-ma’rifah. Dan ketika itu, terbagilah semua yang ditemui oleh hamba dalam hidupnya, kepada yang bermanfaat kepadanya di dunia dan di akhirat atau yang mendatangkan melarat kepadanya di dunia dan akhirat. Dan hamba itu dengan dikaitkan kepada yang mendatangkan melarat kepadanya mempunyai hal (sifat) syukur. Maka syukur itu dengan pandangan ini adalah salah satu dari dua bagian iman, sebagaimana yakin adalah salah satu dari dua bagian itu, menurut pandangan pertama di atas.

Dengan pandangan tersebut, Ibnu Mas’ud r.a. berkata:

“Iman itu dua paruh (nishfu), separuh sabar dan separuh syukur”.

Hal-Hal tentang Sabar

Ketahuilah kiranya bahwa sabar itu dua bagian: Pertama, bagian badaniah, seperti menanggung kesukaran dengan badan dan tetap bertahan atas yang demikian. Dan ini adakalanya dengan perbuatan, seperti mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sukar. Adakalanya dari perbuatan-perbuatan ibadan dan bukan ibadah. Adakalanya dengan penanggungan seperti sabar dari pukulan keras, sakit parah dan luka-luka besar.

Kemudian bagian kedua, kalau adalah sabar dari nafsu syahwat perut dan kemaluan, maka dinamakan ‘iffah (pemeliharaan diri). Kalau sabar itu pada musibah, maka disingkatkan saja atas nama sabar, lawannya adalah gelisah dan keluh kesah. Kalau sabar itu pada membawakan kekayaan dinamakan mengekang diri, lawannya dinamakan sombong dengan kesenangan (al-bathar). Kalau sabar pada peperangan dinamakan berani, lawannya pengecut. Kalau sabar itu dalam menahan amarah dinamakan lemah lembut, lawannya ialah at-tadzammur (pengutukan diri kepada yang sudah hilang). Kalau sabar itu pada suatu pergantian masa yang membosankan maka dinamakan lapang dada, lawannya mangkal hati dan sempit dada. Kalau sabar itu pada menahan diri dari kehidupan dunia maka dinamakan zuhud, lawannya lahap.

Maka yang terbanyak dari akhlak iman itu masuk dalam sabar. Karena itulah, pada suatu kali Nabi s.a.w. ditanyakan tentang iman, lalu beliau menjawab: “Ialah sabar”. Karena sabar itu yang terbanyak dari amal-perbuatan iman dan yang termulia dari amal perbuatan itu. Allah Ta’ala mengumpulkan bagian-bagian itu dan semuanya dinamakan sabar, dengan firman-Nya:

“Mereka yang sabar dalam musibah, kemiskinan dan ketika peperangan. Merekalah orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertakwa - memelihara dirinya dari kejahatan”. (QS Al Baqarah : 177).

Jadi, inilah bagian-bagian sabar, dengan perbedaan hubungan-hubungannya. Dan siapa yang mengambil arti (maksud) dari nama, niscaya ia menyangka bahwa hal keadaan itu berbeda pada zatnya dan hakikatnya, dari segi ia melihat nama-nama itu berbeda. Maka arti itu pokok dan kata-kata itu adalah pengikut. Siapa yang mencari arti dari pengikut, niscaya tidak boleh tidak, ia akan tergelincir. Dan kepada dua golongan itulah, diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “Adakah orang yang berjalan menelungkup di atas mukanya lebih mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan dengan lurus di atas jalan yang benar? (QS. Al Mulk : 22).

Ketahuilah kiranya, bahwa penggerak agama, dikaitkan kepada penggerak hawa nafsu itu mempunyai tiga hal/keadaan:

Bahwa ia memaksakan penggerak hawa nafsu. Lalu penggerak hawa nafsu itu tidak mempunyai lagi kekuatan untuk melawan. Dan sampai kepada yang demikian itu, dengan berkekalan sabar. Yang sampai kepada tingkat ini adalah sedikit. Yakni, ash-shiddiqun, dan al-muqarrabun. Mereka itulah orang-orang yang akan dipanggil: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla, yang diridlai.”

Bahwa menanglah pengajak-pengajak hawa nafsu secara mutlak, jatuhlah perlawanan penggerak agama. Lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara setan dan ia tidak berjuang (bermujahadah) karena berputus-asa. Merekalah orang-orang yang lalai, dan ini adalah golongan yang terbanyak.

Kepada merekalah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan petunjuk kepada setiap diri. Tetapi perkataan dari-Ku, sebenarnya akan terjadi, sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka Jahanam dengan jin dan manusia semuanya” (QS. As- Sajadah : 13).

Merekalah orang-orang yang membeli kehidupan duniawi dengan akhirat sehingga rugilah perniagaan mereka, dan dikatakan kepada orang yang bermaksud menunjuki jalan kepada mereka: “Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi semata! Pengetahuan mereka hanya sehingga itu”. (QS. An-Najm : 29-30).

Keadaan ini, tandanya ialah: putus asa, hilang harapan dan tertipu dengan angan-angan. Itulah yang paling bodoh, sebagaimana Nabi s.a.w. bersabda:

“Orang yang pintar itu meng-agamakan dirinya dan berbuat amal untuk sesudah mati. Dan orang yang bodoh ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan ia berangan-angan atas Allah”.

Orang yang berkeadaan begini, apabila diberi pengajaran, niscaya menjawab: “Aku ingin bertobat. Akan tetapi, sukar tobat itu atas diriku. Lalu aku tidak mengharap padanya”, atau ia tidak ingin bertobat akan tetapi membalas: “Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Pengasih, lagi Maha Pemurah. Maka Dia tidak memerlukan kepada tobatku”.

Bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa di antara dua tentara. Sekali ia memperoleh kemenangan atas peperangan itu, dan sebaliknya. Inilah yang termasuk golongan al-mujahiduun. Orang-orang yang berkeadaan dengan keadaan ini ialah mereka yang mencampuradukkan amal perbuatan yang baik dan yang lain yang jahat, seperti firman Allah Ta’ala: “Mereka telah mencampur-adukkan pekerjaan yang baik dengan yang buruk”. Kiranya Allah Ta’ala menerima taubat mereka!

Penutup

Berkata sebagian orang ‘arifin: “ahlush-shabri itu adalah atas tiga maqam.

Pertama, orang-orang yang meninggalkan nafsu syahwat, dan ini adalah derajat orang-orang yang taubat (mutawwabiin).

Kedua, orang-orang yang ridla dengan yang ditakdirkan Tuhan, dan ini adalah derajat orang-orang zahid.

Ketiga, orang-orang yang suka kepada apa yang diperbuat Tuhannya, dan ini adalah derajat orang-orang shiddiq (ash-shiddiqin).“

Semoga Allah yang Maha Pengasih menganugrahkan kepada kita kesabaran. Amin.

Kekuatan Sabar

Secara etimologis, sabar berarti menahan, seperti kata, “Qutila fulanun

shobr”, artinya, “si Fulan terbunuh dalam keadaan ditahan”. Oleh

karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang

yang sabar.

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai

penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali

bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45).

Menurut Ibnu Jarir, redaksi ayat itu memang memperingatkan Bani
Israel, namun yang dimaksud bukan mereka semata. Ayat ini mencakup mereka

dan orang-orang selain mereka.

Ibnul-Mubarak berkata dengan sanadnya dari Said bin Jubeir, “Sabar ialah

pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, mengharapkan ridha

Allah semata dan pahala-Nya. Kadang-kadang seseorang bertahan dengan

gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat dari dia kecuali

kesabaran.”

Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa disebut sabar, jika sikapnya

menolak atau mengelak berdiri bersama permasalahan yang tidak mengenakkan

di hati. Orang yang sabar selalu memancarkan kehangatan bagi orang lain

karena ia senantiasa pasrah pada Allah dalam kondisi apa pun.

Jika ditimpa musibah, dia tidak akan larut atau meratapi musibah yang

menimpanya. Sedangkan jika diberi kesenangan atau kenikmatan, dia tidak

akan lupa diri dan kufur nikmat kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib mengumpamakan keutamaan sabar bagi keimanan seseorang

itu bagaikan tubuh, dan sabar adalah kepalanya. la mengatakan, “Sabar

bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap

maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Baihaqi).

Walaupun secara sanad, atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa

diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam

Islam. la mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah

dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam

kehidupan, di saat senang maupun susah.

Al-Quran membahasakannya dengan istilah “sabar yang baik”,
Allah SWT berfirman, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS.

Al-Ma’aarij [70]: 5).

Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri kita sendiri untuk

senantiasa berlatih sabar. Yakni, dengan komitmen sebagai seorang hamba

untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT; selalu

berjalan sesuai dengan perintah-Nya.

Inilah yang disebut sabar ma’allah, tingkatan sabar yang paling tinggi

dan paling sulit. Dan Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar

(Al-Baqarah [2]: 153).

Hakikat Kesabaran

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).

Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)

Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.

Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan”

Memperoleh Keajaiban dari Sabar

Apa ada keajaiban sabar? Apakah dengan hanya bersabar, hidup kita menjadi lebih tenang? Lantas apa bedanya dengan pasrah? Kenapa harus sabar, sementara kita masih punya kemampuan untuk berbuat sesuatu?

Pertanyaan itu mengganggu terus. Tidak mudah untuk menjawab aneka pertanyaan seperti itu? Penulis ini orang awam, bukan ustad, bukan kiai, bukan pula seorang perenung yang bisa mendapatkan jawaban setelah sekian lama diam dan mematung.

Menurut Ibnul Qayyim, penulis berbagai kitab dan murid Ibnu Taimiyah, berkata, “Sabar adalah menahan jiwa dari berputus asa, meredam amarah yang bergejolak, mencegah lisan berkeluh-kesah, menahan anggota badan dari berbuat kemungkaran. Sabar merupakan akhlak mulia dari lubuk jiwa yang dapat mencegah degannya akan tegak dan baik segala perkara..”

Jadi, sabar itu ternyata tidak sama dengan pasrah. Jika kita pasrah artinya berputus asa. Sedangkan sabar menerima keadaan yang ada tetapi tetap semangat, tetap berusaha. Sabar juga identik dengan bagaimana memendam amarah yang menggelegak. Sabar juga sama artinya menjaga mulut kita dari omongan yang menunjukkan kemarahan. Mencegah agar mulut senantiasa terjaga dari omongan kotor atau pembicaraan yang tidak perlu, misalnya. Terus terang, saya belum satu pun bisa melakukan itu.

Tidak hanya itu, sabar pun bisa diartikan sebagai tetap kuat pendirian untuk tidak berbuat maksiat, dan menghindari sejauh mungkin. Di sini, kita dituntut sabar untuk berpegang kepada kebenaran ajaran agama. Bukan menyelewengkan atau menyelewengkannya untuk kepentingan kelompok atau pribadi.

Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah Sollalohu Allaihi Wassalam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Yang menarik dari hadis ini, menurut ahli tafsir, setiap mukmin digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’. Mengapa ada pesona dan di mana pesona itu bisa ditemukan? Pesona beranjak dari sikap seseorang dalam menyikapi segala sesuatu. Dia senantiasa berprangka baik, hudnuzhon, positif thinking terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Alloh. Ketika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur, ketika mendapat musibah dia bersabar. Segela sesuatu dianggap sebagai karunia, anugerah Alloh yang tiada banding. Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya.

Begitu pula saat mendapatkan musibah, mendapat kabar buruk, nasib tak menguntungkan, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya yang ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Alloh. Bukan malah lantas menyalahkan Sang Kholik. Bukankah terkadang ada orang yang bilang begini: Alloh nggak adil, mengapa saya begini dan begitu?

Kesabaran tetaplah penting. Sangat penting. Kesabaran merupakan salah satu petunjuk atau ciri seseorang itu bertaqwa atau tidak. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran setengah keimanan. Sabar memiliki kaitan erat dengan keimanan: seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala.

Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “shabara”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran“. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang.

Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Khawas, “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah Solloahu Allaihi Wassalam memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang).”

Buat apa bersabar? Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah Rodiaallohuan bahwa Rasulullan Sollohu Allahi Wassalam bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim).

Kesabaran merupakan suatu keharusan, di mana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah saw. mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)

Bentuk-Bentuk Kesabaran

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga:

Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.

Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, dan memandang sesuatu yang haram.
Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta dan kehilangan orang yang dicintai.

Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran

Ketidaksabaran (baca; isti’jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang harus diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif pada amal. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan melaksanakan ibadah. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat guna meningkatkan kesabaran. Di antaranya:

Mengikhlaskan niat kepada Allah swt.
Memperbanyak tilawah (membaca) Al-Qur’an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan.
Memperbanyak puasa sunnah. Puasa merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.
Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, dan kikir.
Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.
Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.
Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya.